Belakangan, wacana tentang kudeta kembali mengemuka dalam pentas politik nasional. Hal ini dipicu oleh kekecewaan Eggi Sudjana, kuasa hukum calon presiden nomor urut 1 dalam pemilu presiden 2014 lalu, Prabowo-Hatta, terkait penolakan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memproses gugatan hasil pemilu presiden.
Eggi menyebut, setelah penolakan ini, Prabowo-Hatta tidak perlu lagi menggugat hasil Pilpres 2014. Pasalnya, Eggi menengarai bahwa lembaga tinggi negara saat ini sudah tidak ada yang netral. Itu sebabnya, ia akan memilih jalur gerakan politik yang lain.
Memang, eggi tak secara jelas mengatakan bahwa gerakan politik yang ia maksud adalah bentuk kudeta terhadap pemerintahan terpilih. Akan tetapi, banyak media massa yang menafsirkan, kata-kata yang dikemukakan eggi ini merujuk pada gerakan politik yang berujung pada kudeta atau pemakzulan terhadap kompetitornya pada pilpres lalu, Jokowi-JK.
Sontak, apa yang dikemukakan eggi ini menuai kontroversi, baik di dunia maya maupun dalam pentas politik nasional. Pernyataan eggi ini menjadi trigger diskusi hangat, baik secara akademis maupun praktis.
Pertanyaan menarik yang perlu dijawab dari kontroversi ini adalah bagaimana persepsi masyarakat Indonesia tentang kudeta atau pemakzulan terhadap pemerintahan yang masih berjalan dengan sah?
Kemapanan Pemahaman Demokrasi
Sejatinya, pemahaman masyarakat terkait pentingnya pembatasan kekuasaan sebuah rezim sudah cukup baik. Masyarakat sudah mulai sadar, bahwa kekuasaan yang tak terbatas, hanya akan menghasilkan penyelewengan kekuasaan yang kronis.
Sebagaimana adagium popular dalam politik, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely atau orang yang memegang kekuasaan memiliki kecenderungan untuk menyeleweng. Akan tetapi bagi mereka yang memegang kekuasaan secara penuh, pasti akan menyeleweng.
Hal ini seperti terlihat dalam survei yang dilakukan oleh Skala Survei Indonesia (SSI) pada 2010 silam terhadap 1.200 responden diseluruh Indonesia. Dalam polling tersebut, ketika ditanyakan apakah aturan pembatasan kekuasaan terhadap sebuah rezim di Indonesia selama dua periode perlu dikurangi atau ditambah? Mayoritas masyarakat Indonesia (53.4%) menyatakan aturan pembatasan ini sebaiknya tetap dua periode saja. Hanya sekitar 24.8% saja yang setuju aturan pembatasan ini ditambah atau dikurangi rentang waktunya.
Pun demikian halnya ketika ditanyakan apakah rezim yang berkuasa, sebelum masa pemerintahannya habis, setuju untuk dimakzulkan atau dikudeta? Lagi-lagi, mayoritas masyarakat Indonesia (52.0%) tidak setuju sebuah rezim dimakzulkan ketika masa pemerintahannya belum selesai, apalagi dikudeta. Hanya sekitar 13.5% saja yang setuju sebuah pemerintahan yang masih berjalan diturunkan ditengah jalan.
Dari mereka yang setuju pemakzulan atau kudeta terhadap pemerintahan yang masih berjalan (dari angka 13.5% di atas), pun harus dengan syarat yang tegas. Sebuah pemerintahan boleh diturunkan apabila telah dihinggapi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme/KKN (37.04%), sudah tidak bisa menjalankan tugasnya dengan benar (11.11%), dan tidak berpihak kepada rakyat (8.64%).
Sementara bagi mereka yang tidak setuju terhadap pemakzulan atau kudeta, karena menganggap pemerintahan yang masih berjalan berhak diberi kesempatan untuk menuntaskan masa tugasnya (54.17%), takut terjadi kerusuhan (9.78%), dan takut terjadi pelanggaran undang-undang (5.29%).
Lebih jauh, apakah masyarakat akan mendukung atau tidak mendukung jika ada gerakan pemakzulan terhadap sebuah rezim yang belum menuntaskan masa jabatannya? Lagi-lagi, hanya sekitar 12.3% saja yang akan mendukung gerakan seperti ini. Sementara mayoritas (59.8%) tidak mendukung sama sekali gerakan seperti ini.
Dari data ini bisa dipahami, bahwa sejatinya pemahaman masyarakat Indonesia terhadap demokrasi, dalam konteks sirkulasi kekuasaan, sudah mulai mapan. Sebuah rezim yang berkuasa, selama ia tak terjangkiti 1). penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme/KKN, 2). Masih bisa menjalankan tugasnya, 3). Masih berpihak kepada masyarakat, dan 4). Masa tugasnya belum selesai, tidak boleh diganggu dengan pemakzulan atau kudeta.
Melihat fakta ini, tentu menjadi pembelajaran penting bagi para elit politik untuk tidak gegabah dalam mengeluarkan wacana. Pemakzulan atau kudeta, jika koteksnya belum sangat mendesak, hendaknya tidak dijadikan pilihan ringan. Karena merujuk pada realitas kehendak masyarakat seperti telah tertuang di atas, pemakzulan atau bahkan kudeta tidak memberi keuntungan apapun bagi rakyat.
Budaya kemapanan pemahaman demokrasi masyarakat Indonesia yang seperti ini perlu dijaga. Ada baiknya, kekecewaan politik yang terjadi dapat disalurkan melalui instrument yang lebih tepat, yakni kembali bekerja buat masyarakat. Agar dalam lima tahun kedepan, politisi terkait bisa mendapatkan mandat yang memiliki legitimasi kuat, sehingga bisa mengurusi persoalan-persoalan umat yang saat ini masih banyak terbengkalai.