Oleh : Abdul Hakim MS
Entah apa yang ada dibenak sebagian anggota DPR-RI periode 2004 – 2014 yang mengusulkan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dikembalikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tak ada hujan tak ada angin, usulan ini tiba-tiba menyeruak ke permukaan hingga membuat jagat perpolitikan nasional kembali menghangat.
Sontak, usulan ini menuai kontroversi. Meski ada yang mendukung, namun mayoritas kalangan menolak keras ide ini. Lembaga swadaya masyarakat (LSM), Organisasi kemasyarakatan (Ormas), akademisi, dan budayawan ramai mengutuk. Bahkan organisasi yang mewadahi para kepala daerah di seluruh Indonesia pun, turut menolak gagasan ini.
Sebagaimana kita tahu, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah yang saat ini sedang digodok di DPR-RI, 6 Fraksi (Demokrat, Golkar, Gerindra, PAN, PPP, dan PKS) mengusulkan agar pilkada dikembalikan melalui mekanisme pemilihan di DPRD. Dalilnya, pilkada langsung dianggap sebagai biang keladi terjadinya korupsi kepala daerah, menjadi pemicu maraknya politik uang, politik berbiaya tinggi, hingga argumentasi menyebabkan konflik sosial.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, benarkah demikian?
Inferensi Prematur
Sejatinya, dalil-dalil yang dipergunakan untuk menjustifikasi agar pilkada dikembalikan ke DPRD cukup prematur. Dalil-dalil ini memerlukan penelitian secara lebih dalam agar tidak terjadi – dalam istilah ilmu logika—“sesat pikir” dalam mengambil kesimpulan yang akan berujung pada pengambilan keputusan yang salah. Coba dalil-dalil ini kita kupas dalam konteks logika.
Dalil pertama yang kerap dijadikan alasan adalah data yang menyatakan bahwa sejak Pilkada langsung diberlakukan, sudah ada setidaknya 327 gubernur, bupati dan wali kota yang tersangkut kasus korupsi dan masuk penjara.
Sekilas, dalil ini memang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa pilkada langsung masih memiliki banyak masalah. Namun benarkah banyaknya kepala daerah yang masuk penjara akibat Pilkada langsung? Akankah masalah kepala daerah yang masuk penjara ini teratasi jika kemudian pemilihan dikembalikan ke DPRD?
Secara faktual, sejak pilkada langsung bergulir, memang sudah ada sebanyak 327 kepala daerah yang masuk penjara. Ini fakta yang memang tak bisa dibantah. Akan tetapi, bukankah banyaknya kepala daerah yang masuk penjara ini karena Indonesia sudah memiliki lembaga penegak hukum yang baik, seperti KPK? kita semua tahu, bukankah kepala daerah yang masuk penjara hampir 100 persen ditangkap oleh lembaga anti rasuh ini? Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah ketika kepala daerah masih dipilih DPRD, Indonesia sudah memiliki lembaga hukum yang mempunyai integritas seperti KPK?
Sebagaiman kita tahu, pilkada langsung dimulai sejak diundangkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini efektif berlaku untuk pilkada langsung pada tahun 2005. Sementara, KPK berdiri pada bulan Desember 2003.
Jika kemudian membandingkan banyaknya kepala daerah yang ditangkap dalam rentang waktu 2003 – 2014 atas dasar mekanisme pemilihannya, menjadi tidak relevan karena datanya tidak sebanding. Sejak KPK berdiri, hanya satu tahun (yakni 2004) periode kepala daerah dipilih oleh DPRD, sementara pilkada langsung sudah berjalan selama hampir sepuluh tahun. Ditahun pertama KPK berdiri, sistemnya juga belum sebaik seperti saat ini.
Itu sebabnya, inferensi yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD lebih baik dibanding pilkada langsung dalam konteks banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi, merupakan pola nalar yang “sesat pikir” karena data ini tak sebanding. Karena tak sebanding, maka inferensi ini bisa dibilang sangat prematur.
Demikian halnya dengan dalil bahwa pilkada langsung akan memicu konflik sosial, dan menyebabkan maraknya praktik money politic. Hingga detik ini, penelitian The Habibie Centre menunjukkan bahwa belum ada konflik sosial yang terjadi di negeri ini yang benar-benar dipicu oleh pelaksanaan pilkada langsung. The Habibie centre menyebut, konflik horizontal yang terjadi selama sepuluh tahun pelaksanaan Pilkada, lebih cenderung dipicu oleh elit yang belum dewasa dalam berpolitik.
Pun demikian pula dengan dalil money politic. Tim peneliti dari Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) yang bekerja sama dengan Department of Politics and Social Change, Australia National University (ANU) menunjukkan, dalam riset politik uang pada pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden di sekitar 20 daerah sepanjang 2014, politik uang bukan penentu utama yang dapat menarik minat pemilih. Aksi tebar uang ke pemilih dalam beberapa pilkada hanya memiliki pengaruh 15 persen terhadap keputusan pemilih. Pertanyaannya, seandainya pilkada langsung memang memicu money politic, akankah masalah ini teratasi dengan pilkada melalui DPRD?
Satu-satunya argumentasi yang menurut saya logis adalah Pilkada langsung memang menyebabkan biaya tinggi dalam penyelenggaraannya. Akan tetapi, biaya tinggi ini bukan ditanggung oleh kandidat yang akan berlaga, melainkan oleh negara. Karena jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, biaya yang ditanggung oleh para kandidat tak mustahil bisa lebih tinggi lagi. Karena untuk bisa terpilih, para kandidat harus memberikan “special services” kepada para anggota DPRD. Hal ini juga akan memunculkan potensi masalah yang sama, money politics dan biaya politik tinggi bagi para kandidat.
Tapi bukankah biaya setinggi apapun yang ditanggung oleh negara, jika itu dikehendaki rakyat harus diperjuangkan? Karena saat ini, Merujuk survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), 81.25 persen masyarakat Indonesia masih menghendaki pilkada dilakukan secara langsung.
Rente Kekuasaan
Merujuk data-data di atas, tak heran jika banyak kalangan yang menyatakan bahwa asas yang digunakan untuk mengambil keputusan beberapa fraksi yang menghendaki pilkada dikembalikan kepada DPRD tak dilandasi oleh nalar politik yang logis dan sehat, melainkan lebih didasarkan pada kepentingan politik sesaat yang di dorong oleh beberapa politisi pemburu rente kekuasaan untuk menggamit kuasa yang lebih besar (power seeking politician).
Hal itu bisa dilihat dari Premis-premis yang digunakan sebagai landasan mengambil keputusan cenderung prematur dan dipaksakan. Namun bagi para power seeking politician, hal itu tidaklah penting selama tujuan mereka bisa tercapai.
Meskipun demikian, ada baiknya para politisi ini memikirkan kembali protes yang berdatangan. Gelombang besar penentangan yang datang dari masyarakat, harus disikapi secara bijak. Karena tak mustahil, jika keputusan politik yang dilandasi nalar politik yang tidak sehat ini dipaksakan, gelombang ini bisa menjadi badai yang bisa semakin merontokkan kepercayaan publik terhadap lembaga DPR-RI.
Hemat saya, sepatutnya RUU Pilkada ini tak diselesaikan pada periode DPR-RI saat ini yang usianya tinggal menghitung hari. Pembahasannya lebih baik diserahkan kepada anggota DPR-RI periode baru agar bisa melengkapi landasan argumentasi secara lebih runut, baik secara akademik maupun praktis.
sumber gambar : https://www.fraksipkb.com/2014/09/23/penolakan-dari-sulteng-terhadap-pilkada-langsung/