Publikasi hasil riset politik lembaga survei (pollsters) ke hadapan publik kerap kali menimbulkan polemik di masyarakat. Sering ada kecurigaan bahwa publikasi hasil riset yang dilakukan mengandung “misi tersembunyi”, yakni untuk memenangkan klien yang ditangani. Kecurigaan ini memang sulit dihindari ditengah adanya fakta ketidakakurasian data yang disodorkan lembaga pollsters ke publik.
Polemik ini sudah beberapa kali mengemuka. Contoh kasus yang masih segar diingatan kita adalah terbelahnya hasil publikasi hitung cepat (Quick Count) pada pilpres 2014 yang lalu. Dari sebelas lembaga pollsters yang melakukan prediksi hitung cepat kala itu, empat lembaga memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, sementara sisanya memenangkan pasangan Jokowi-JK.
Namun jauh sebelum itu, adanya polemik terkait publikasi hasil riset politik lembaga pollsters juga sudah pernah terjadi. Peristiwa itu ada pada saat perhelatan Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Ketika itu, banyak lembaga pollsters mengumumkan timpangnya tingkat elektabilitas pasangan petahana ( Fauzi Bowo- Nahrowi Ramli / Foke-Nara) dibandingkan lima kompetitor lainnya. Karena perbedaan tingkat eleksi yang sangat jauh, salah satu lembaga pollsters mapan sempat memprediksi pilkada bisa terjadi satu putaran, meskipun tingkat eleksi itu belum mencapai 50%+1 yang menjadi syarat bisa memenangi pilkada DKI Jakarta satu putaran. Dan dalam perjalanannya, fakta hasil pilkada berkata lain. Pemilihan berlangsung dua putaran, dan dimasing-masing putaran, pasangan petahana yang diprediksi akan bisa memenangi pemilihan satu putaran, justeru harus mengakui kekalahan dari pasangan lainnya (Jokowi-Ahok kala itu).
Yang terbaru, polemik kembali menyeruak kepermukaan pasca perhelatan pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Independensi lembaga pollsters kembali dipertanyakan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan prediksi dari publikasi hasil riset beberapa lembaga pollsters beberapa hari menjelang pemungutan suara.
Pertanyaannya, kenapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana semestinya peran lembaga pollsters? Bagaimana pula seharusnya Pollsters mempublikasikan hasil riset politiknya? Dan pada akhirnya, apakah publikasi hasil sigi lembaga pollsters merupakan pencerdasan ataukah pembodohan bagi publik?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, silahkan download tulisan saya yang sudah dipublikasikan dalam Jurnal Bawaslu DKI Jakarta Edisi Desember 2016 disini.
Semoga bisa membantu pemahaman kita terkait tema ini.
sumber gambar : http://id.pinterest.com/pin/595460381952367796/?lp=true