Sejak Pemilu 1955, Parpol Islam Selalu Kalah dengan Parpol Nasionalis. Kenapa?

Oleh : Abdul Hakim MS

PARPOL ISLAM VS PARPOL NASIONALISCukup menarik jika kita menelaah kiprah partai-partai yang berideologi atau berbasis pemilih Islam (selanjutnya saya sebut dengan istilah “parpol islam”) dalam lima kali pemilu demokratis yang pernah dihelat di Indonesia. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia, merujuk hasil sensus BPS tahun 2010, 87.18 persen adalah pemeluk Islam.

Meski demikian, ternyata pilihan politik para pemeluk Islam ini tak secara otomatis dijatuhkan terhadap parpol Islam. Pilihan politik mereka menyebar dan terbanyak dijatuhkan ke parpol nasionalis.

Hal itu seperti terlihat dalam pemilu 2014 yang lalu. Kala dibandingkan, suara parpol islam jauh tertinggal dibandingkan dengan suara parpol nasionalis.

Sebagaimana diketahui, pada pemilu 2014, setidaknya ada 5 partai politik yang memiliki ideologi atau basis pemilih Islam. Mereka antara lain PKB, PKS, PAN, PPP, dan PBB. Sementara partai-partai diluar itu, yakni Nasdem, PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Demokrat, Hanura, dan PKPI saya kategorikan sebagai partai dengan ideologi nasionalis.

Jika digabungkan, perolehan total suara dari lima parpol Islam ini sebanyak 39,244,020 dari 124,972,491 suara sah. Yang terbesar, suara di sumbang oleh PKB sebanyak 11,298,957. Menyusul kemudian PKS 8,480,204, PAN 9,481,621, PPP 8,157,488, dan PBB 1,825,750.

Sementara itu, perolehan suara parpol nasionalis jauh diatas parpol Islam, yakni sebesar 85,728,471 dari dari 124,972,491 suara sah. Suara terbanyak parpol nasionalis disumbang oleh PDIP sebesar 23,681,471. Disusul kemudian Nasdem 8,402,812, Golkar 18,432,312, Gerindra 14,760,371, Demokrat 12,728,913, Hanura 6,579,498, dan PKPI 1,143,094.

Jika dipresentase, suara parpol Islam sebesar 31.4 persen berbanding 68.6 persen suara parpol nasionalis.

Rendah sejak Pemilu 1955

Sejatinya, tidak hanya pada pemilu 2014 saja perolehan suara parpol Islam kalah dengan parpol nasionalis. Sejak pemilu 1955, gabungan suara parpol Islam selalu kalah melawan gabungan suara parpol nasionalis. Pada pemilu 1955, gabungan suara parpol Islam sebesar 43,7%, kalah dengan gabungan suara parpol nasionalis yang sebesar 51.7%.

Pada pemilu demokratis pertama di era reformasi, yakni pemilu 1999, gap lebih tajam terjadi antara parpol Islam vs parpol nasionalis. Parpol Islam meraih suara sebesar 36.8% sementara parpol nasionalis mendapat suara sebesar 62.3%.

Demikian halnya pada pemilu 2004, parpol Islam mendapatkan suara sebesar 38.1% sementara parpol nasionalis mendapatkan suara sebesar 59.5%.

Dipemilu 2009, gap curam kembali terjadi. Tingkat keterpilihan gabungan parpol Islam turun sebanyak hampir 10 persen menjadi 29.16%. Sedangkan gabungan elektabilitas parpol nasionalis mencapai 70.84%. Naasnya, pemilu 2009 seolah menjadi “kuburan” bagi partai yang berideologi islam. Dari enam partai politik berideologi Islam yang ikut serta dalam pemilu (PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, dan PMB), hanya 2 partai yang lolos aturan Parliamentary Threshold 2.5%, yakni PKS dan PPP.

Pertanyaannya, kenapa parpol Islam tak mendapatkan dukungan signifikan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah pemeluk Islam?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saatnya parpol Islam melakukan telaah kritis terhadap dirinya sendiri agar pertanyaan paradoks di atas bisa dijawab dengan baik.

1 Response

Leave a Reply