Oleh : Abdul Hakim MS
Penetapan pemenang Pilkada DKI Jakarta Putaran II usai sudah. Pasangan no urut 3, Anies Rasyid Baswedan – Sandiaga Salahudin Uno (selanjutnya akan ditulis Anies – Sandi) dinyatakan unggul oleh KPUD DKI Jakarta atas pasangan no urut 2, Basuki Tjahaya Purnama – Djarot Saiful Hidayat (selanjutnya akan ditulis Ahok – Djarot) dengan selisih perbandingan suara 57,96% : 42,04%.
Fakta ini menjadi cukup menarik untuk ditelaah. Mengapa? karena pada putaran pertama, pasangan Ahok – Djarot bisa unggul atas dua pasangan lainnya ketika itu, yakni pasangan no urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni (selanjutnya ditulis Agus – Sylvi) dan pasangan no urut 3, Anies – Sandi. Ahok Djarot memimpin diputaran pertama dengan perolehan suara 42,99%. Menyusul diurutan kedua pasangan Anies – Sandi dengan perolehan suara 39,95%. Sementara pasangan Agus – Sylvi berada diurtuan terakhir dengan perolehan suara 17,02%. Namun dalam putaran kedua, pasangan Ahok – Djarot gagal mempertahankan keunggulan melawan pasangan Anies – Sandi.
Hal ini cukup berbeda dengan trend pada pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Ketika itu, pasangan yang sudah unggul diputaran pertama, bisa melanjutkan kemenangannya diputaran kedua, yakni pasangan Jokowi – Ahok. Diputaran pertama, Jokowi – Ahok bisa unggul atas lima pasangan lainnya kala itu dengan perolehan suara 42,60%. Pun demikian halnya diputaran kedua, pasangan Jokowi – Ahok kembali bisa unggul dengan perbandingan suara 53,82% : 46,18% atas pasangan petahana, Foke-Nara, yang menjadi lawan diputaran kedua.
Apa yang menjadi penyebab pasangan Ahok – Djarot tak bisa mempertahankan keunggulan diputaran kedua?
Banyak variabel yang bisa dihadirkan untuk dapat menjawab pertanyaan di atas. Tergantung aspek mana yang mau dibahas. Akan tetapi dalam tulisan pendek ini, saya akan coba melihatnya dari aspek anatomi pemilih dari ketiga pasangan calon yang ada.
Merujuk hasil survei yang dilakukan oleh Skala Survei Indonesia (SSI) menjelang putaran pertama dihelat, pasangan Ahok – Djarot memang sudah diprediksi akan unggul diputaran pertama. Namun menariknya, jika pasangan Ahok – Djarot gagal menang satu putaran di ronde awal, maka pasangan Ahok – Djarot akan kalah melawan pasangan manapun di putaran kedua. Kenapa ini bisa terjadi?
Migrasi Resiprokal Pemilih Agus – Sylvi & Anies – Sandi
Jelang putaran pertama, dengan beragam “fenomena” yang menimpa petahana, survei SSI menunjukkan bahwa pemilih DKI Jakarta telah terdikotomi menjadi dua belahan utama. Belahan pertama adalah barisan yang sudah sangat loyal mendukung petahana. Sementara belahan kedua adalah barisan yang juga sudah sangat loyal untuk tidak mendukung petahana.
Pada putaran pertama, pemilih dibelahan pertama tidak akan bergeming dengan isu apapun yang masuk kekepala mereka untuk pindah pilihan selain ke pasangan Ahok – Djarot. Mereka ini sudah sangat yakin dengan keputusannya. Bahkan ketika survei SSI menguji dengan variabel kasus “penistaan agama” yang tengah merundung petahana, atau dengan variabel sikap primordialisme masyarakat DKI Jakarta, mereka pun tak beringsut untuk berbalik arah.
Lain halnya dengan pemilih dibelahan kedua. Mereka yang sudah anti petahana terdistribusi ke dua pasangan lainnya, yakni ke pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Pemilih dikelompok ini pun sudah sama yakinnya seperti pemilih dibelahan pertama, yakni tidak akan memilih petahana! Cuma, pemilih dikategori ini tidak memiliki loyalitas tunggal ke pasangan tertentu antara Agus – Sylvi atau Anies – Sandi.
Itu sebabnya, ketika pilkada disimulasikan terjadi dua putaran, terjadi migrasi yang bersifat resiprokal antara pendukung pasangan Agus – Sylvi dan pendukung pasangan Anies – Sandi. Jika salah satu diantara mereka tak lolos ke putaran kedua, maka suara dukungannya akan pindah kepasangan yang lainnya. Uniknya, fenomena ini tak terjadi dipemilih Ahok – Djarot. Lebih jelas, lihat gambar 1.
Seperti dilihat dalam gambar 1, ketika pilkada disimulasikan terjadi dua putaran, ketika pasangan Ahok – Djarot vs pasangan Anies – Sandi yang maju ke putaran berikutnya, maka suara yang mendukung pasangan Agus – Sylvi mayoritas (51,7%) akan pindah kepasangan Anies – Sandi. Sementara yang akan pindah mendukung pasangan Ahok – Djarot hanya 6,2%. Sisanya (42,1%) belum memutuskan pilihan.
Pun demikian halnya ketika pasangan Ahok – Djarot vs pasangan Agus – Sylvi yang akan masuk pada putaran berikutnya, migrasi suara pasangan Anies – Sandi mayoritas (41,7%) akan pindah kepasangan Agus – Sylvi. Sementara yang migrasi ke pasangan Ahok – Djarot hanya 3,1%. Sisanya, 55,1% belum menentukan pilihan.
Dari simulasi ini, terlihat jelas bahwa terjadi migrasi resiprokal (dua arah) antara pendukung Agus – Sylvi dan Anies – Sandi ketika salah satu diantara mereka tak masuk keputaran kedua. Sementara pendukung dua pasangan ini tak memiliki hubungan resiprokal terhadap pasangan Ahok – Djarot. Karena seandainya pasangan Ahok – Djarot tak masuk ke putaran kedua, 73,3% pendukungnya belum memutuskan pilihan.
Faktor migrasi resiprokal inilah yang menyebabkan kenapa pasangan Ahok – Djarot diprediksi akan kalah diputaran kedua melawan pasangan manapun. Lihat gambar 2 dan 3
“Blessing” Anies-Sandi di putaran pertama
Pada awalnya, survei SSI menunjukkan bahwa pemilih yang berada dibelahan anti petahana, banyak menjatuhkan pilihan kepada pasangan Agus-Sylvi. Itu sebabnya, diberbagai survei jelang putaran pertama, tingkat eleksi pasangan Agus – Sylvi selalu berada diatas pasangan Anies – Sandi.
Namun karena kerasnya “pertempuran” antara pasangan Ahok – Djarot dan pasangan Agus-Sylvi (salah satu contoh adalah tiba-tiba munculnya sosok Antasari Azhar dipenghujung putaran pertama), pasangan Anies-Sandi seolah mendapatkan “blessing”.
Pasangan Ahok – Djarot memang “mampu mereduksi” suara Agus-Sylvi. Namun seperti pada simulasi diatas, karena kategori pemilih Agus-Sylvi ini merupakan suara yang termasuk tidak akan memilih petahana, maka merekapun bermigrasi ke pasangan Anies-Sandi. Inilah yang saya sebut sebagai “blessing”. Dan akhirnya, pasangan Anies-Sandi pun bisa melenggang ke putaran kedua.
Migrasi Resiprokal terbukti di putaran kedua
Menjelang putaran kedua, pemilih DKI Jakarta kemudian bisa dikategorikan menjadi 3 bagian besar. Kelompok pertama adalah pemilih yang sudah memutuskan untuk memilih pasangan Ahok – Djarot atau memilih pasangan Anies – Sandi. Kelompok kedua adalah pemilih yang mendukung pasangan Agus – Sylvi. Dan kelompok ketiga adalah pemilih yang tidak memberikan suaranya dipilkada putaran pertama.
Untuk jenis kelompok yang pertama, jika pasangan Ahok – Djarot yang masuk pada putaran kedua melawan pasangan Anies – Sandi, pilihan mereka sudah sangat loyal. Sebanyak 97,5% pemilih Ahok – Djarot diputaran pertama akan kembali memilihnya dan hanya 2,5% pemilih yang berencana untuk pindah pilihan ke pasangan Anies – Sandi. Sementara untuk pemilih pasangan Anies – Sandi, ketika melawan pasangan Ahok – Djarot diputaran kedua, maka 100% akan tetap memilihnya. Tidak satupun yang akan berpindah kepasangan Ahok – Djarot. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan kelompok pemilih yang pertama ini sudah sangat loyal. Untuk lebih jelas lihat gambar 4.
Yang menarik adalah pemilih kelompok kedua, yakni pemilih pasangan Agus – Sylvi. Jika pasangan ini tidak lolos ke putaran kedua, migrasi terbesarnya akan lari kepasangan Anies – Sandi.
Sebagaimana bisa dilihat dalam gambar 4 diatas, jika yang lolos keputaran kedua adalah pasangan Ahok – Djarot vs Anies – Sandi, sebanyak 51,7% pemilih pasangan Agus – Sylvi akan migrasi ke pasangan Anies – Sandi. Sementara hanya 6,2% yang berencana akan bermigrasi ke pasangan Ahok Dajrot. 42,1% sisanya belum menentukan pilihan.
Sementara kelompok pemilih yang ketiga adalah yang tak memberikan pilihannya diputaran kedua. Jenis pemilih ini jumlahnya masih sangat banyak, yakni sekitar 1,6 juta pemilih!
Jelang putaran kedua, sejatinya tim sukses pasangan Ahok – Djarot dan Anies – Sandi hanya perlu fokus terhadap pemilih dalam kelompok kedua dan ketiga, yakni bagaimana caranya agar pemilih Agus – Sylvi dan yang belum menentukan bisa digamit. Sementara kelompok pemilih yang pertama hanya perlu “dirawat” karena mereka sudah sangat loyal.
Untuk timses pasangan Ahok – Djarot, untuk bisa memenangi kontestasi diputaran kedua, maka mereka harus bisa menaikkan tingkat partisipasi. Karena merujuk data penelitian diatas, berharap kepada pemilih Agus – Sylvi untuk mendukung mereka cukup sulit terwujud. Namun sayang, upaya menaikkan tingkat partisipasi ini tak membuahkan hasil. Tingkat partisipasi pemilih hanya naik 1 persen diputaran kedua, yakni dari 76% diputaran pertama menjadi 77% di putaran kedua.
Sementara untuk timses Anies – Sandi, mereka “hanya” perlu menghadirkan semua pemilih Agus – Sylvi ke TPS, sembari berharap tingkat partisipasi pemilih tak menggelembung. Karena ketika pemilih Agus – Sylvi menggunakan hak pilihnya kembali, akan sangat menguntungkan pasangan ini. Penyebabnya, sebagaimana diuraikan diatas, pendukung pasangan Agus – Sylvi merupakan suara yang termasuk Anti petahana. Itu artinya, potensi besar suara Agus – Sylvi akan bisa direngkuh oleh pasangan Anies – Sandi.
Dan pada akhirnya, migrasi resiprokal pendukung Agus – Sylvi dan Anies – Sandi ini menjadi kenyataan. Semua pendukung Agus – Sylvi tidak hanya mayoritas yang melakukan migrasi ke Anies – Sandi diputran kedua, namun bisa dikatakan, semuanya! Tidak ada satupun yang bermigrasi ke pasangan Ahok Djarot!
Untuk membuktikannya, coba kita lihat perolehan suara pasangan Ahok – Djarot vs Anies – Sandi di putaran pertama dan kedua. Kemudian kita bandingkan penambahan suara Anies – Sandi diputaran kedua dengan jumlah suara pemilih Agus – Sylvi di putaran pertama.
Jika kita bandingkan perolehan suara pasangan Ahok – Djarot diputaran pertama vs putaran kedua, dari enam wilayah administratif di DKI Jakarta, hanya disatu wilayah pasangan Ahok – Djarot yang jumlah dukungannya bertambah, yakni Jakarta Utara. Sementara di lima wilayah administratif lainnya, jumlah pemilihnya tereduksi. Bahkan secara keseluruhan, pemilih pasangan Ahok – Djarot mengalami penyusutan. Lebih jelas lihat gambar 5.
Sebagaimana bisa dilihat dari gambar 5, suara pasangan Ahok – Djarot berkurang 1.435 pemilih di Jakarta Barat, 6.787 pemilih di Jakarta Timur, 5.885 di Jakarta Selatan, 1.311 di Jakarta Pusat, dan 141 pemilih di Kepulauan seribu. Hanya di Jakarta Utara suara pemilih Ahok – Djarot bertambah 1.348. Secara keseluruhan, suara Ahok – Djarot turun 14.211 pemilih!
Hal ini cukup berbeda dengan suara pasangan Anies – Sandi. Dari enam wilayah administratif, jumlah pemilihnya semua bertambah cukup signifikan. Kenaikannya berada dalam rentang 35% hingga 81%. Secara keseluruhan suara pasangan Anies – Sandi mengalami kenaikan hingga 47,5%. Lebih jelas lihat gambar 6.
Sebagaimana dilihat dalam gambar 6, suara Anies – Sandi bertambah 240.237 pemilih di Jakarta Barat, 327.271 pemilih di Jakarta Timur, 196.898 pemilih di Jakarta Selatan, 110.219 diJakarta Pusat, 165.084 pemilih di Jakarta Utara, dan 3.945 pemilih di Kepulauan Seribu. Secara keseluruhan, penambahan suaranya sekitar 1.043.654 pemilih.
Yang cukup menarik, ternyata penambahan suara pasangan Anies – Sandi ini jika dibandingkan dengan suara pasangan Agus – Sylvi diputaran pertama, masih lebih unggul diseluruh wilayah administratif. Itu artinya, semua suara pasangan Agus – Sylvi bisa dipastikan bermigrasi ke pasangan Anies – Sandi. Kenapa? karena suara pasangan Ahok – Djarot tak ada penambahan disemua wilayah, bahkan mengalami reduksi. Lebih jelas lihat gambar 7.
Memang, di Jakarta Utara, pasangan Ahok – Djarot bisa menambah suara. Namun penambahan suara ini tidak diperoleh dari suara pasangan Agus – Sylvi, melainkan dari yang belum menentukan pilihan pada putaran pertama. Hal itu dibuktikan dengan adanya penambahan DPT yang paling besar berasal dari wilayah Jakarta utara, yakni hingga mencapai 37.620. Penambahan DPT diwilayah ini merupakan yang paling besar dibandingkan dengan lima wilayah lainnya. Lebih jelas, lihat tambahan jumlah DPT pilkada DKI Jakarta di gambar 8.
Melihat fakta ini, cukup wajar jika pasangan Anies – Sandi yang awalnya akan diprediksi hanya bisa menang dengan selisih tipis, malah bisa mengungguli pasangan petahana dengan margin yang cukup tebal, yakni 15%.
Faktor migrasi resiprokal pemilih Agus – Sylvi dan pemilih Anies – Sandi yang awalnya menjadi asumsi pada putaran pertama, bisa menjadi jawaban dengan pembuktian diatas. Faktor inilah yang menyebabkan pasangan Ahok – Djarot kalah pada pilkada DKI Jakarta putaran kedua.
Pertanyaan menarik berikutnya yang harus dijawab adalah kenapa bisa terjadi migrasi resiprokal hanya terhadap pasangan Agus – Sylvi dan Anies – Sandi? Kenapa Migrasi resiprokal ini tak terjadi terhadap pasangan Ahok – Djarot? Faktor apa yang menjadi penyebabnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus dilakukan penelitian kembali. Semoga dikemudian hari saya bisa melakukannya untuk memperkaya hasanah pemikiran pilkada langsung di Indonesia.