Oleh : Abdul Hakim MS
Tahukah Anda, merujuk pengalaman pada pilkada serentak tahun 2015, dari 264 wilayah yang mengadakan pilkada, ada 82,5% wilayah yang incumbent-nya maju kembali berkontestasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 63,2% incumbent kembali memenangi kontestasi.
Ada fakta menarik dari calon incumbent yang berhasil memenangi kontetestasi. Berdasarkan penelitian SSI, calon incumbent yang berhasil memenangi kontestasi, paling banyak ternyata berada diwilayah yang memiliki jumlah daftar pemilih tetap (DPT) besar.
Sebagaimana bisa dilihat dalam grafik di atas, diwilayah dengan jumlah DPT 100 ribu kebawah, incumbent yang memenangi kontestasi sebesar 54,3%, sementara yang kalah sebesar 45,7%.
Untuk wilayah dengan jumlah DPT antara 100 – 500 ribu, incumbent yang memenangi kontestasi bertambah menjadi 60,6% berbanding 39,4% yang kalah.
Untuk wilayah dengan jumlah DPT 500 ribu – 1 juta, incumbent yang memenangi kontestasi naik menjadi 72,7% berbanding 27,3% yang kalah.
Sementara diwilayah dengan jumlah DPT 1 juta keatas, incumbent yang memenangi kontestasi sebesar 79,2% berbanding 20,8% yang kalah.
Atau dengan bahasa lain bisa kita katakan, data diatas menunjukkan bahwa semakin besar jumlah DPT suatu wilayah yang menggelar pilkada, semakin sulit bagi non-incumbent untuk bisa memenangi kontestasi.
Begitu juga sebaliknya, semakin kecil jumlah DPT suatu wilayah yang menggelar pilkada, semakin mudah bagi incumbent untuk dikalahkan.
Kenapa demikian?
Banyak variabel yang bisa menjelaskan hal ini. Namun saya melihat setidaknya ada 3 perkara. Pertama, incumbent memiliki waktu yang cukup panjang selama ia menjabat sebagai kepala/wakil kepala daerah (lima tahun) untuk bersentuhan langsung dengan pemilih. Sementara non-petahana biasanya melakukan sosialisasi hanya sekitar 5 – 7 bulan menjelang pemilihan.
Perkara kedua adalah masalah undang-undang. UU pilkada memberikan banyak keuntungan bagi incumbent. Misalnya, semua kandidat yang memegang jabatan apapun dipemerintahan, baik PNS, Polri, TNI, dan anggota DPR-RI atau DPRD, harus berhenti dari jabatannya jika akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Sementara untuk incumbent tidak harus. Mereka cukup mengambil cuti.
Selain aturan tersebut, ada juga aturan sosialisasi yang menyamaratakan antara posisi incumbent dan non-incumbent dalam kampanye ke pemilih. Iklan media massa, atrubutisasi, dan sosialisasi harus diatur oleh penyelenggara pemilu (KPU) dengan jumlah, intensitas, dan frekuensi yang sama. Padahal, incumbent yang telah memiliki waktu 5 tahun lebih lama dalam melakukan sosialisasi, tentu jauh lebih berkesan bagi pemilih daripada calon pendatang baru.
Perkara ketiga, terkait kendaraan politik. Dengan terus diperberatnya persyaratan calon independen untuk maju berkontestasi dalam pilkada, saat ini satu-satunya saluran sebagai kendaraan politik menjadi kepala daerah adalah partai politik. Sementara partai politik memiliki kencenderungan mendasarkan keputusan mendukung pasangan kandidat berdasarkan hasil polling.
Berdasarkan pengalaman dibanyak wilayah, polling awalan pilkada biasanya selalu menempatkan incumbent sebagai calon terkuat untuk memenangi kontestasi. Dengan begitu, pilihan parpol (biasanya) akan jatuh ke calon incumbent. Makanya tak heran jika pada pilkada 2015, ada fenomena calon tunggal. Semua parpol berkumpul untuk mendukung kandidat yang sama.
Pada pilkada 2017, sepertinya kondisi ini akan tetap sama. Kenapa demikian? Analisis ini didasarkan pada fakta bahwa tak begitu banyak perubahan aturan undang-undang sebagaimana pilkada 2015. Diwilayah-wilayah dengan jumlah DPT besar, sepertinya incumbent masih akan cukup sulit untuk dikalahkan.