Selain kurang bersahabat dengan calon independen, pilkada serentak 2015 yang telah digelar di 264 wilayah seluruh Indonesia juga terlihat kurang bersahabat dengan calon yang maju dari unsur non petahana.
Hal itu bisa dilihat dari hasil penelitian Skala Survei Indonesia (SSI). Dari 82,5 persen calon petahana yang maju dalam pilkada 2015, sebanyak 63,2 persen berhasil mengalahkan lawan-lawannya dari unsur non petahana. Pertanyaannya, kenapa calon petahan cukup sulit dikalahkan? Analisisnya bisa baca disini.
Selain itu, ada fakta menarik lainnya. Petahana memiliki kemungkinan lebih susah dikalahkan diwilayah yang memiliki jumlah daftar pemilih tetap (DPT) besar.
Dari hasil penelitian menunjukkan, semakin besar jumlah pemilih, semakin sulit petahan dikalahkan. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah pemilih, semakin mudah petahana dikalahkan.
Jumlah petahan yang bisa memenangi kontestasi yang terbanyak ada di pulau NTT, yakni 85,7%. Disusul pulau jawa, 76,6%, NTB dan bali 66,7%, dan Sulawesi 65,5%. Sementara petahana yang kalah yang terbanyak ada di pulau Papua, yakni 54,5%. Disusul pulau kalimantan, 50,0%, kepulauan maluku 42,9%, dan pulau sumatera 40,8%.
Untuk pulau Jawa, petahana yang menang sebanyak 76,6% dan yang kalah 23,4%. Sementara luar pulau jawa, petahana yang menang ada sebanyak 59,4% dan yang kalah sebanyak 40,6%.
Untuk wilayah administrasi Provinsi, jumlah petahana yang bisa memenangi kontestasi ada sebanyak 71,4% dan yang kalah 28,6%. Sedangkan untuk wilayah administrasi kabupaten, petahan yang menang ada sebanyak 60,9% dan yang kalah 39,1%. Sementara untuk wilayah administrasi Kota, petahan yang menang sebanyak 74,2% dan yang kalah 25,8%.
Adanya hegemoni petahana ini tentu menjadikan demokrasi kita tidak berjalan secara ideal. Padahal inti utama dari demokrasi adalah adanya persaingan agar terjadi sirkulasi kekuasaan politik tidak secara ajeg. Karena keajegan penguasa akan berbuntut pada politik tirani dan politik dinasti.
Padahal kita tahu, semangat awal UU pilkada (sebelum dibatalkan MK), adalah mengurangi kemungkinan terjadinya politik dinasti. Hal itu terlihat dari tidak dibolehkannya keluarga petahana mencalonkan keluarganya diwilayah bersangkutan.
Dengan adanya hegemoni petahana, ditambah dibolehkannya kembali keluarga petahana untuk maju dalam pilkada (berdasarkan keputusan MK), maka politik dinasti bisa terus dilestarikan oleh para penguasa-penguasa di daerah.
Sebagaimana kita kenal sebuah adagium populer dalam ilmu politik, power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutly. Dan apabila politik tirani dan politik dinasti terbentuk, maka penyalahgunaan kekuasaan pasti akan terjadi.
Hasil penelitian lengkap, silahkan klik disini.