Liputan6.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim berharap agar para figur politik peserta pemilihan umum (pemilu), baik partai politik (parpol), calon anggota legislatif, hingga calon presiden dan wakil presiden mulai mengedepankan gagasan untuk membentuk pemilu sehat.
“Saya berharap, aktor politik, baik itu parpol ataupun calon anggota legislatif bahkan sampai calon presiden dan wakil presiden mulai mengedepankan pendekatan pemilu yang konseptual. Lebih mengedepankan ide, gagasan, pemikiran dan nalar kritis untuk menjawab kepentingan publik,” kata Abdul Hakim ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Selasa (27/9/2022).
Abdul mengingatkan agar tidak lagi hanya bermodal gimmick politik semata untuk memikat hati rakyat.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika menanggapi kemunculan berbagai partai politik baru yang mendaftarkan diri untuk menjadi peserta Pemilu 2024. Abdul memandang perlu bagi para aktor politik untuk berfokus pada visi, misi, dan program kerja ke depannya.
“Seandainya pun gimmick politik dipakai, sesakilah gimmick itu dengan substansi ide terkait dengan persoalan-persoalan yang dihadapi publik saat ini,” ujar Abdul.
Pengamat politik ini memandang pemilu yang sehat sebagai pemilu yang semestinya dipenuhi oleh ide, gagasan, dan pemikiran dari para peserta pemilu, baik partai politik maupun calon presiden dan wakil presiden untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan publik.
Ide-ide ini, tutur dia, harus dibenturkan dalam proses berpikir yang teratur dan logis untuk mencapai simpulan terbaik.
Selanjutnya, simpulan tersebut akan berperan sebagai konsep yang akan dijalankan ketika aktor-aktor politik yang bersangkutan terpilih untuk mengisi posisi jabatan publik.
“Di sektor konstituen, pemilu yang sehat adalah pemilu yang disikapi secara rasional, bukan emosional,” ucap dia.
Dalam pemilu yang sehat, pemilih mampu melakukan kalkulasi dalam menentukan keputusan dalam memilih berdasarkan logika dan rasional.
“Pemilih tidak lagi bersandar melulu pada alasan-alasan ekonomis, sosiologis, atau bahkan antropologis semata, namun lebih mengedepankan nalar kritis dalam memilih calon pemimpin mereka,” tutur Abdul.