Oleh : Abdul Hakim MS
Batas akhir pendaftaran bakal calon pasangan independen maju dipilkada serentak gelombang kedua tahun 2017 untuk wilayah provinsi dan kabupaten/kota telah ditutup pada Minggu kemarin. Jika melihat jumlah pendaftar yang masuk ke KPU dimasing-masing wilayah, prediksi suram kandidat yang muncul dari arah ini tampak terlihat.
Bahkan Provinsi DKI Jakarta yang memantik isu panas mengenai calon independen dengan deklarasi prematur dari Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), pun tak memunculkan calon independen. Belakangan, Ahok memutar haluan akan maju melalui jalur partai politik.
Demikian halnya dengan wilayah-wilayah lain. Jawa Tengah misalnya. Dari tujuh wilayah yang akan menggelar pilkada, tak satupun ada pendaftar calon independen. Sama halnya dengan Yogyakarta, tasik malaya, landak, mesuji, HSU, Sarolangun, Buton, Bolaang Mongondow, dan masih banyak lagi wilayah lainnya.
Jika pun ada pendaftar dari calon independen, maka mereka juga harus siap menghadapi proses verifikasi yang tak mudah. Seperti tiga provinsi yang memunculkan pendaftar calon independen, yakni Banten, Aceh dan Gorontalo. Dari tujuh provinsi yang akan menggelar pikada serentak 2017, empat lainnya nihil calon independen, yakni DKI Jakarta, Papua Barat, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat.
Potensi Gugur
Bagi pendaftar pasangan calon independen, diterimanya berkas mereka oleh KPU juga bukan menjadi jaminan bisa lolos dengan nyaman. Mereka harus melalui proses verifikasi yang benar-benar berbeda dibandingkan dengan proses verifikasi pilkada serentak tahun 2015.
Sebagaimana tercantum dalam Perubahan kedua UU No 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, pasal 48 ayat 3 sampai 3C menyebutkan bahwa proses verifikasi faktual akan dilakukan dengan metode sensus dengan mendatangi satu persatu dukungan KTP yang diserahkan oleh pasangan calon independen. Jika tim sensus yang dibentuk KPU tak bisa menemui pendukung pada saat sensus, maka pasangan calon diberikan kesempatan 3 hari untuk menghadirkan pendukungnya itu didepan tim sensus. Jika gagal, maka dukungan akan dicoret karena dianggap tidak valid.
Tentu proses ini tidak akan mudah dilalui. Ketika tim sensus gagal menemui pendukung calon, untuk menghadirkan mereka didepan petugas bukanlah perkara mudah, mengingat kesibukan para pendukung sehari-hari. Kandidat calon independen harus bekerja extra keras untuk melakukannya.
Disinyalir banyak kalangan, perkara ketentuan undang-undang ini juga yang menyebabkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), mengurungkan niatnya untuk maju melalui jalur independen. Pasangan Presiden Jokowi pada pilkada DKI Jakarta tahun 2012 lalu ini, lebih memilih jalur parpol sebagai kendaraan politik untuk melanjutkan tampuk kepemimpinannya. Padahal, Ahok melalui timsesnya “teman ahok” sudah mengklaim memiliki dukungan KTP mencapai 1 juta.
Dengan sulitnya proses verifikasi berkas dukungan calon independen ini, sepertinya akan makin menciutkan jumlah pendaftar yang memang sudah sedikit. Menurut hemat saya, hanya kandidat yang memiliki jaringan yang baik yang akan lolos dari potensi gugur menjadi calon. Bagi yang tak memiliki, sepertinya gugur menjadi konsekwensi logis.
Dentang Kematian
Mengacu pengalaman pilkada serentak tahun 2015, grafik yang sudah muram, akan kembali muram durja bagi calon independen di pilkada serentak tahun 2017. Jumlah yang sudah kecil dalam keikutsertaannya di pilkada 2015, akan kembali menyempit dipilkada 2017. Pun demikian dengan halnya dengan kan kemenangannya.
Merujuk hasil penelitian Skala Survei Indonesia (SSI) dari hasil pilkada serentak tahun 2015, jumlah calon independen cukup kecil persentasinya jika dibandingkan dengan jumlah pasangan calon yang diusung oleh partai politik. Dari 264 wilayah yang menggelar pilkada 2015, calon independen hanya ada di 35 persen wilayah saja.
Dari jumlah calon independen yang ada di atas, tingkat kemenangannya juga sangat kecil, yakni hanya di 14,4 persen wilayah saja. Sementara di 85,6 persen wilayah lainnya mengalami kekalahan.
Masih dari hasil penelitian SSI, calon independen hanya mampu bersaing dengan calon dari partai politik di wilayah-wilayah yang memiliki jumlah daftar pemilih tetap (DPT) kecil. Hal itu bisa dilihat dari kemenangan calon independen yang hanya berada diwilayah dengan jumlah DPT dibawah 600 ribu.
Dari 14,4 persen wilayah yang calon independennya berhasil menang, 23,1 persen berada diwilayah dengan jumlah DPT dibawah 100 ribu, 30,8 persen diwilayah dengan jumlah pemilih 100 – 200 ribu, 23,1 persen diwilayah dengan jumlah DPT 200 – 500 ribu, dan 15,4 persen diwilayah denga jumlah DPT 500 – 600 ribu. Hanya ada satu wilayah dengan jumlah DPT diatas 2,5 juta pemilih yang calon independen bisa meraih kemenangan, yakni di Kabupaten Bandung Barat yang memiliki jumlah DPT di atas 2,5 juta.
Jika dilihat beradasarkan pulau, di Sumatera hanya ada 11,5 persen calon independen yang berhasil memenangi kontestasi, Jawa 11,1 persen, Kalimantan 22,2 persen, Sulawesi 15,4 persen, Papua 16,7 persen, dan NTT 33,3 persen. Sementara di NTB dan Kepulauan Maluku, tak satupun calon independen bisa memenangi kontestasi.
Pun demikian halnya jika dilihat berdasarkan wilayah administrasi. Calon indepenen di wilayah kabupaten hanya ada 11,0 persen yang bisa memenangi kontestasi, wilayah Kota ada 31,3 persen, sementara wilayah provinsi tak satupun yang bisa memenangi kontestasi.
Melihat fakta-fakta di atas, Potret suram calon independen sepertinya akan kembali terulang, bahkan bisa lebih kelam di pilkada 2017. Sebagai antitesa calon yang hadir dari partai politik, jika tak ada tindakan nyata dari pembuat undang-undang, calon independen sepertinya tinggal tunggu waktu kematiannya di pilkada serentak 2018 dan seterusnya.